MENYUSUR jalan seni
pengembara budaya tiba
berkampung di kaki Santubong
setelah meredah rimba bahasa
lantas menyapa kenyalang sepi
yang menyanyikan lagu hati
di atas dahanan seni
Angin yang behembus
bertemankan pengembara
datang membawa pesan buat Sejinjang
jangan ada gelombang dendam
menghempas pantai hati
menitip salam buat Serapi
jangan ada gugusan benci
terbuku di dalam diri
membisik khabar buat kenyalang
terbanglah di balik awan hitam
bisikkan pada hujan
sirami malam dengan kedinginan
Lalu dilangsungkan simposium alam
berbicara bahasa jiwa
mentafsir makna setia
melukis cita dan citra minda
menulis rasa dan peristiwa
seluruh cakerawala
Dibentangkan pernyataan
bumi hijau dan laut biru
langit lazuardi dan malam sunyi
adalah saudara, adalah teman
adalah khazanah, adalah kurnia
adalah amanah tuhan
Mendukungi keserasian sejagat ini
perlu ada kesepakatan hati
melestarikan ketamadunan manusiawi
perlu ada keharmonian fikrah
menghimpun suara saksama
perlu ada keperkasaan nada
menentang onar manusia
yang bicara dan nyanyiannya
bersalut senda dan dusta
perlu ada harakah insani
yang memartabatkan kemurnian budi
Kenyalang di rimba Santubong
sampaikan pada teman di puncak Sejinjang
utuskan warkah buat saudara di pinggir Serapi
laungkan ke setiap pelosok, sungai dan gunung
serukan di setiap rimba, lurah dan kampung
hari ini sastera kita dijunjung
hari ini budaya manusia kita dukung
jangan lagi ada yang tertinggal
di lorong kosong
jangan lagi ada bayi
terperosok di perangkap sampah
jangan ada hutan
terbakar di sudut rumah
Kenyalang burung gemilang
kau perenung sejarah perakam peristiwa
laporkan pada dunia
makna merdeka seorang pengemis kota
catatkan juga erti bahagia
kakak tua di dalam sangkar permata
Kenyalang dari Mulu yang kaku
terbang di langit luas
dan khabarkan erti bebas
di dalam taman yang terbatas
ada teman di banjaran Tamu Abu
merindui keindahan warnamu
ada saudara di Muara Baram
mencintai simfoni dendanganmu
tinggalkan sepi di kaki Santubung
Kenyalang tersayang
terbanglah ke penghujung alam
telah kurobek kini sepimu.
16 Ogos 2001
(sempena Hari Sastera ke Xll yang berlangsung di Santubong )
OMBAK minda memupur di pantai imaginasi
meretek jasad kusam
melihat diri di cermin mimpi
nanar yang menyentak khayal
menyinggir peribadi yang asli
yang telah dipupuk sejak lahir
lalu berlarilah ia mencari penawar
dari kepanasan yang tidak kenal erti kasih
menggelodak segumpal daging putih
menggoncang mahkota diri
sehingga mencabar segenggam waras
menggugat secupak sabar
Seketika ia kembali menjengah realiti
melalui ucapan retorik manusia
terdidik dalam bicara jiwa
lantas ia berdiri memandang damai
meretas khayal dari kenyataan
mericih kemelut dari tenang
Terima kasih wibawa
yang memimpin ke tepian nyata
pengap beralih ke dimensi asing
fobia berlari ke gelanggang sunyi
mencari seketul hati
yang bisa ditunggangi.
Miri